Perlu diperhatikan dan difahami dengan baik, makalah ini saya publikasikan semata2 agar dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembaca yg budiman, tanpa ada niat untuk menyinggung berbagai pihak terkait. terimakasih
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.............................................................................i
DAFTAR
ISI
….....................................................................................iii
BAB
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.............................................................................1
B. Rumusan
Masalah........................................................................2
C. Tujuan
Penulisan Makalah...........................................................3
D. Metode
Penulisan Makalah .........................................................3
E. Manfaat
Penulisan Makalah.........................................................3
BAB II. PEMBAHASAN
A. Tinjauan
Pustaka...........................................................................4
1. Definisi
Etos Kerja..................................................................4
2. Pandangan
Hidup serta Etika dalam Kehidupan Masyarakat
Jawa.........................................................................................5
3. Keterkaitan
antara Etos Kerja dengan Nilai Budaya Masyara-
kat
Jawa...................................................................................7
B. Pembahasan...................................................................................9
BAB III. PENUTUP
A. Simpulan.......................................................................................13
B. Saran.............................................................................................14
Daftar Pustaka....................................................................................16
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Indonesia
merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu berupa kekayaan alam
maupun kekayaan budaya serta keunikan yang dimiliki penduduknya. Tak heran bila
Indonesia terkenal akan banyaknya kebudayaan yang dimiliki, sebab Indonesia
merupakan negara yang penduduknya terdiri dari berbagai macam etnis atau lebih
dikenal dengan negara multikultural, disamping itu kekayaan budayanya pun di
dorong oleh kondisi fisik negara Indonesia yang berpulau-pulau, bahkan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Selain terkenal sebagai negara kepulauan,
Indonesia pun terkenal dengan jumlah penduduknya yang cukup padat. Menurut data
Badan Pusat Statistik (http://sp2010.bps.go.id/index.php) hingga tahun
2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai
237.641.326 jiwa, yang tersebar ke berbagai wilayah, yakni perkotaan
sebanyak 118.320.256 jiwa dan di daerah pedesaan sebanyak 119.321.070 jiwa.
Dengan jumlah penduduk yang besar
tentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pun memiliki potensi cukup besar.
Mengenai kualitas SDM Indonesia, menurut Human Development Indeks (http://ekonomi.kompasiana.com)
Indonesia menduduki peringkat 108 di dunia. Rendahnya kualitas SDM Indonesia di
duga karena penduduk Indonesia yang kurang produktif dan kreatif, sehingga daya
saing dengan negara lain cukup kecil, hal ini lah yang menyebabkan peringakat
SDM Indonesia berada di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia,
Singapura dan Philipina. Sungguh miris melihat data prestasi SDM tersebut, jika
kita mengingat betapa kayanya Indonesia khususnya kaya oleh Sumber Daya Alam
(SDA) yang begitu berlimpah.
Sudah lumrah di dengar
bahwa salah satu faktor yang mengakibatkan Indonesia selalu dipandang memiliki
SDM yang rendah yakni karena penduduk Indonesia yang memiliki etos kerja yang
rendah. Namun perlu kita ingat bahwa dalam sejarahnya, hampir setiap suku di
Indonesia memiliki nenek moyang yang sangat menjunjung tinggi budaya kerja dalam kehidupannya yang
kemudian diwariskan secara turun temurun kepada penerusnya. Dapat kita ambil
contoh salah satu suku di Indonesia yang memiliki etos kerja yang tinggi, yakni
suku Jawa. Tingginya etos kerja yang dimiliki suku Jawa dapat kita lihat dari
persebaran masyarakat suku Jawa yang banyak tersebar di kota-kota besar
Indonesia, bahkan tak hanya itu suku Jawa pun ditemukan bermukim di Suriname
dan Malaysia. Dalam perantauannya, masyarakat suku Jawa dikenal ulet dalam
bekerja sehingga tak heran bila masyarakat suku Jawa dapat kita temui dalam
berbagai bidang pekerjaan, khususnya pemerintahan dan militer. Dari budaya
kerja suku Jawa ini dapat kita lihat betapa masyarakat Indonesia pada dasarnya
memiliki etos kerja atau budaya kerja yang tinggi.
Namun mengapa di zaman
yang semakin modern ini SDM Indonesia dipandang memiliki etos kerja yang rendah
sehingga menempatkan negara Indonesia pada posisi 108 di dunia. Padahal secara
historis, etos kerja yang tinggi telah ditanamkan oleh penduduk Indonesia sejak
dulu. Sehingga kini etos kerja menjadi permasalahan utama dalam pembangunan
negara Indonesia.
Dalam buku karangan JB.
Tjoek Soewarso, BA, Drs. Slamet Rahardjo, Drs. Subagyo dan Drs. Budi Cahyo
Utomo M. Pd dijelaskan bahwa sejak terbitnya buku karangan Max Weber dalam
bukunya yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capialism (1956)
maka masalah etos kerja suatu etnik atau suatu bangsa dan pengaruhnya terhadap
perkembngan etnik atau bangsa itu, menarik perhatian para ahli ilmu sosial. Rendahnya
etos kerja bangsa Indonesia pun telah banyak dikaji oleh pada ahli dan ada pula
yang membukukannya. Salah satu buku yang membahas mengenai etos kerja bangsa
Indonesia adalah buku karangan Wahyuningsih,BA, Dra. Elizabeth T. Gurning, dan
Dra. Edhie Wuryantoro dengan judul Budaya Kerja Nelayan Indonesia di Daerah
Jawa tengah , yang melihat etos kerja bangsa Indonesia dari segi maritim yang
dimiliki oleh nelayan Indonesia yang berada di wilayah Jawa Tengah.
Menyadari permasalahan
tersebut, maka penulis berinisiatif untuk membahas masalah etos kerja
masyarakat Indonesia, namun agar pembahasan lebih mendalam dalam kajian mengenai
etos kerja masyarakat Indonesia, maka pembahasan dipersempit menjadi etos kerja
masyarakat Jawa.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, penulis merumuskan
beberapa pokok masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab selanjutnya,
adapun rumusan makalah tersebut, yakni:
1.
Apakah
Definisi Etos Kerja?
2.
Bagaimana
Pandangan Hidup serta Etika dalam Kehidupan Masyarakat Jawa?
3.
Bagaimana
Kaitannya antara Etos Kerja dengan Nilai Budaya Masyarakat Jawa?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan
yang ingin dicapai penulis dalam penulisan makalah ini, yakni sebagai berikut:
1.
Menjelaskan
Definisi Etos Kerja
2.
Menggambarkan
pandangan hidup serta etika dalam kehidupan masyarakat Jawa
3.
Menjelaskan
keterkaitan antara etos kerja dengan nilai budaya masyarakat Jawa
D.
Metode Penulisan Makalah
Dalam penyusunan
makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka (pengumpulan sumber dari
buku) dan penggunaan browsing
internet.
E.
Manfaat
Penulisan Makalah
Makalah
ini disusun dengan harapan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun
secara praktis. Secara teoretis makalah ini berguna untuk menjelaskan masalah
etos kerja bangsa Indonesia, yang dipandang dari etos kerja masyarakat Jawa.
Adapun secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1.
penulis sebagai wahana penambah
pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya tentang permasalah etos etos kerja
bangsa Indonesia, yang dipandang dari etos kerja masyarakat jawa pada umumnya.
2.
pembaca, sebagai media informasi
mengenai masalah etos kerja bangsa Indonesia, yang dipandang dari etos kerja
masyarakat Jawa baik secara teoretis maupun secara praktis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Pustaka
1.
Definisi
Etos Kerja
Untuk menggali makna atau
mengetahui definisi dari etos kerja, alangkah baiknya jika kita pun mengkaji
makna kata perkata dari etos kerja itu sendiri, guna mendapatkan pemahanan yang
lebih mendalah mengenai definisi dari etos kerja.
Dalam kamus besar
bahasa Indonesia (http:bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi) etos adalah pandangan hidup yang khas
dari suatu golongan sosial, sedangkan menurut Clifford Geertz etos menunjukkan
pada sifat, watak dan kualitas kehidupan bangsa, moral dan gaya estetis. Etos
adalah sikap mendasar terhadap diri bangsa itu dan terhadap dunia yang
direfleksikan dalam kehidupan. (Soewarsono et.al, 1995: 4)
Kerja menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan melakukan sesuatu, yang dilakukan atau
yang sedang diperbuat. Sementara itu, definisi kerja menurut Magnis Soseno
menyebutkan bahwa kerja adalah melakukan kegiatan yang direncanakan dengan pemikiran khusus demi pembangunan dunia
dan hidup manusia. Kerja merupakan hak istimewa manusia oleh karena itu
merupakan keharusan bagi manusia untuk melakukan. (Soewarsono et.al, 1995: 4)
Dari pendefinisian etos
kerja kata perkata, dapat kita simpulkan bahwa etos kerja adalah suatu
pandangan hidup yang khas yang menggambarkan kualitas hidup suatu golongan atau
bangsa dalam upaya khusus guna membangun hidup manusia . Namun tentu pengertian
ini belum dapat menjelaskan secara jelas definisi dari etos kerja, maka kiranya
kita pun perlu menelaah definisi etos kerja dari berbagai ahli.
Taufik Abdullah (Anas
Saidi, 1994) mengemukakan bahwa etos kerja adalah alat dalam pemilihan.
Sehingga dalam pengertian ini maka etos kerja dapat dilihat dari dua segi.
Pertama, menyangkut kedudukan kerja dalam hirarki nilai, apakah kerja dianggap
sebagai sesuatu yang dilakukan secara terpaksa sebagai pilihan utama atau
ibadah. Atau bekerja dianggap sebagai kegiatan rutin yang harus dijalani manusia.
Kedua, apakah dalam hirarki itu ada perbedaan dasar memilih dari berbagai jenis
pekerjaan yang tersedia. Apakah ada derajat penilaian bahwa pekerjaan yang satu
lebih penting dari pekerjaan yang lain.
Menurut K.H. Toto
Tasmara (http://fadlyknight.wordpress.com/2011/10/06/etos-kerja-moral-pembangunan-dalam-islam/)
etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan,
memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya
untuk bertindak dan meraih amal yang optimal.
Dari berbagai definisi
diatas maka kini dapat kita simpulkan bahwa etos kerja merupakan suatu watak,
sifat, keyakinan maupun pandangan yang positif yang dimiliki oleh sekelompok
orang atau golongan dalam melakukan suatu pekerjaan atau pembangunan yang
disertai dengan semangat, rasa optimis, serta keuletan untuk mencapai satu
tujuan atau meraih kesuksesan melaui usaha yang gigih, yakin, dan tidak mudah
berputus asa.
2.
Pandangan
Hidup serta Etika dalam Kehidupan Masyarakat Jawa
Mengingat bahwa tema
makalah yang diangkat oleh penulis adalah mengenai etos kerja masyarakat Jawa,
maka kiranya penulis merasa perlu untuk menjelaskan pandangan hidup serta etika
dalam etos kerja masyarakat Jawa, karena aspek-aspek kebudayaan atau adat
istiadat sangat berpengaruh dan saling berkaitan dalam kehidupan masyarakat
Jawa. Sehingga jika kita akan menjelaskan mengenai etos kerja masyarakat Jawa,
maka sebelumnya kita pun harus menjelaskan pula pandangan hidup serta etika
kehidupan masyarakat Jawa.
Sebelum kita membahas
lebih jauh mengenai pandangan hidup serta etika mayarakat Jawa, tentu kita
harus menelaah terlebih dahulu makna dari kata etika.
Banyak orang
menyandingkan kata etika dengan moral, sehingga banyak pula para ahli yang
menyebutkan bahwa etika merupakan filsafat mengenai bidang moral. Ini berarti
antara etika dan moral memiliki suatu hubungan atau keterkaitan yang tidak
dapat dipisahkan.
Magnis Soseno
(Endraswara, 2010: 12) mengemukakan
istilah etika dalam arti lebih luas, yaitu sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang
dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana
manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Sedangkan Freeman (Endraswara,
2010: 246) mengemukakan bahwa ‘etika adalah aturan yang tetap tentang sikap.’
Dari uraian diatas maka
dapat kita simpulkan bahwa etika merupakan suatu tatanan atau nilai-nilai yang
sangat berhubungan dengan moral yakni mengenai baik buruknya suatu perilaku
individu dalam masyarakat. Etika antara satu golongan dengan golongan lainnya
tentu memiliki perbedaan, namun terdapat pula persamaan yakni persamaan
pandangan dari setiap golongan masyarakat bahwa etika itu berhubungan dengan
moral yang harus dijaga dari generasi ke generasi, merupakan pedoman
berperilaku bagi individu dalam suatu masyarakat, etika pun dapat pula berarti
suatu pedoman berperilaku yang memberikan batasan-batasan bagi individu,selain
itu etika merupakan pandangan hidup ke arah yang positif.
Masyarakat Jawa pun
memiliki etika tersendiri dan menjadi ciri khas bagi masyarakat Jawa. Adapun
dalam etika masyarakat Jawa dikenal adanya istilah Ambeg yang artinya watak
orang Jawa, yang menentukan tindak tanduk seseorang. Mengingat bahwa masyarakat
Jawa merupakan suatu masyarakat yang kental akan ajaran-ajaran kebathinan maka
dikenal pula istilah etika kejawen yang tidak akan pernah lepas dari pandangan
hidup masyarakat Jawa. Terdapat sebuah pepatah Jawa yang sangat terkenal dan
sedikit banyak dapat kita ketahui pandangan hidup masyarakat Jawa:
Jagra angkara winangun,
Sudira marjayeng
westhi,
Puwara kasub kuwasa,
Sastraning jre Weddha
muni,
Sura dira jayaningrat,
Lebur dening Pangastuti
Inti dari pepatah Jawa
tersebut yakni, bahwa orang Jawa harus senantiasa selalu mengingat Tuhannya,
Tuhan yang telah menciptakannya. Dengan ini maka pandangan hidup orang Jawa
dalam melakukan apapun harus senantiasa mengingat Tuhannya, karena dengan
dengan mengingat Tuhan manusia akan selalu berada di jalan kebenaran.
“Adapun nilai kehidupan
atau kemanusiaan orang Jawa di ukur dari ambegnya:
ambeg satria-pinandhita, ambeg jatmika, ambeg berbudi darma, ambeg
paramarta, ambeg sesongaran, ambeg budi candhala...” (Endraswara,
2010: 49)
Ciri khas lain dari
pandangan hidup orang Jawa yakni selalu berusaha untuk menjaga keselarasan
antara dirinya dengan lingkungan alam sekitar. “ Oleh sebab itu hubungan orang
Jawa dengan sesamanya, alam, makhluk lain, dan juga Tuhan selalu dikaitkan
dengan ambegnya” (Endraswara, 2010:
50). Tak heran bila kini dalam pandangan hidup masyarakat Jawa berkembangnya
suatu keyakinan harus adanya keselarasan antara manusia dengan lingkungan
sekitar, secara historis keyakinan akan keselarasan ini telah ada atau telah
dianut sejak zaman berkembangnya sistem kerajaan di tanah Jawa, khususnya di
Kerajaan Mataram Kuno.
Raja-raja Jawa percaya
pada landasan kosmologis, yaitu suatu keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Menurut kepercayaan ini
manusia serta raja yang berkuasa selalu berada dalam dibawah pengaruh alam
semesta, seperti bintang-bintang, planet-planet, bulan, matahari,
gunung-gunung, dan samudra luas. Kekuatan alam dapat mengendalikan manusia,
berpengaruh baik atau buruk terhadap jalan hidup manusia. (Supriatna, 2009: 17)
Dalam etika masyarakat
Jawa dikenal adanya istilah Udarasa dan Nga
lelet, dimana udarasa merupakan suatu etika yang berhubungan dengan pemikiran
dan rasa orang Jawa sedangkan istilah nga lelet menunjukkan bahwa meskipun
orang Jawa memiliki suatu aturan-aturan atau etika yang sekilas tampak
mengikat, namun sebenarnya etika Jawa bersifat fleksibel dengan kata lain tidak
kaku.
Karena orang Jawa dalam
kehidupannya sangat menjunjung tinggi suatu keselarasan, maka dikenal dua
prinsip hidup orang Jawa, yakni prinsip rukun dan prinsip hormat. Dalam
pandangan hidupnya, jika mereka dapat mengaplikasikan kedua prinsip tersebut
dalam hidupnya, maka keselarasan dan keharmonisan hidup pun dapat diraih.
Dalam etika bisnis
masyarakat Jawa, dikenal adanya konsep satak
sanak bathi. “...Konsep semacam ini menandai bahwa bisnis tidak sekedar
untung material, melainkan juga ranah sosial, dan bahkan spiritual”
(Endraswara, 2010: 236) sehingga dimanapun mereka merantau, merekan cenderung
dapat diterima dengan baik oleh masyarakat diperantauan sebab orang Jawa dapat
beradaptasi dengan baik di lingkungan yang baru.
3.
Keterkaitan antara Etos Kerja
dengan Nilai Budaya Masyarakat Jawa
Telah
diuraikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa salah satu ciri khas dari
masyarakat Jawa yakni dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat Jawa masih
percaya pada hal-hal yang berbau mistis dan percaya akan adanya
kekuatan-kekuatan dalam benda-benda disekelilingnya, seperti pohon keramat,
batu keramat dan lain-lain.
Budaya
masyarakat Jawa yang masih percaya pada hal-hal mistis tersebut masih di pegang
kuat dan terus dijaga serta dilestarikan secara turun temurun. Keyakinan ini
biasa disebut dengan aliran Kejawen atau Ngelmu Kesampurnaan. Seorang penulis
bernama Hadiwijaya telah menjelaskan aliran kejawen dalam karyanya yang
berjudul Tokoh-Tokoh Kejawen, Ajaran dan Penganutnya, dalam karya tersebut ia
menyatakan bahwa pandangan hidup orang Jawa terbentuk dari gabungan alam pikir
Jawa tradisional, kepercayaan Hindu atau filsafat India, dan ajaran tasawuf
atau mistik Islam. Pandangan hidup tersebut banyak tertuang dalam karya-karya
sastra yang berbentuk prosa dan puisi.
Dari
pandangan Hadiwijaya mengenai dunia kejawen yang tertuang dalam karyanya
tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa sebenarnya aliran kejawen merupakan
suatu hasil cipta atau buah fikir dari kekreatifan masyarakat Jawa kuno dalam
menerima dan kemudian mengeleksi pengaruh budaya luar untuk diolah menjadi
nilai budayanya sendiri. Bahkan sebagian masyarakat Jawa yang penganut aliran
kejawen asli, berkembang suatu faham jika mereka tidak melakukan kewajiban atau
ritual-ritual dalam aliran kejawen maka mereka telah menodai kesucian aliran
kejawen, sehingga masyarakat pengenut kejawen asli sangat menjaga dan
senantiasa melakukan ritual-ritual kejawen tersebut. Maka dari itu aliran atau
faham kejawen tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan maupun pandangan hidup
masyarakat Jawa, sehingga aliran kejawen menjadi nilai budaya yang khas dan
melekat pada masyarakat Jawa.
Karena
aliran kejawen sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat
Jawa, maka dalam etos kerja pun tidak luput dari pengaruh aliran kejawen.
Sesuai dengan etika masyarakat Jawa yang telah dijelaskan dalam uraian
sebelumnya, masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi keharmonisan antar makhluk
khususnya hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan Tuhannya, dan
hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu pula masyarakat Jawa harus
senantiasa menciptakan dan menjaga keselarasan antar hubungan tersebut.
Nilai-nilai
etika tersebut bagi masyarakat Jawa harus di aplikasikan dalam kehidupannya,
khususnya dalam etos kerja atau budaya kerjanya. Dalam etos kerja masyarakat
Jawa sangat menjaga tanggungjawab dan kejujuran, karena dalam pandangan hidup
masyarakat Jawa tanggung jawab dalam bekerja tidak hanya dipertanggungjawabkan
dihadapan manusia semata, lebih dari itu tanggungjawab pun akan minta oleh
Tuhannya.
Dalam
perantauannya orang Jawa terkenal mudah beradaptasi dengan lingkungannya,
sehingga mereka mudah diterima oleh masyarakat sekitar. Hal ini bertaitan
dengan konsep tuna santak bathi untuk
etika bisnis masyarakat Jawa, yakni
dalam berbisnis tidak hanya untung dalam segi material, namun juga harus
dalam hubungan sosial khususnya spiritual.
Untuk
mendapat keuntungan dalam dunia bisnis, masyarakat Jawa menganut Ngelmu Begja
yang bersumber dari aliran kejawen. Ngelmu begja terus dilestarikan dengan melakukan
ritual-ritual khusus di tempat-tempat yang dianggap sakral. Dari tradisi Ngelmu
begja, kita dapat melihat keterkaitan antara etos kerja dan nilai budaya
masyarakat Jawa.
B.
Pembahasan
Telah
dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa pada dasarnya bangsa Indonesia
memiliki nenek moyang yang sangat menjunjung tinggi etos kerja dalam kehidupan
sehari-sehari, hal ini dapat kita lihat adanya suatu tradisi merantau yang salah
satunya dimiliki oleh suku Jawa. Terlepas dari hal tersebut penerapan etos kerja
yang tinggi tidak hanya dilihat dari adat rantau saja, namun dapat pula dilihat
dari bagaimana suatu kelompok masyarakat pedalaman bertahan hidup dengan
bekerja mengolah alam sekitarnya, sepeti bertani melaut dan sebagainya untuk
bertahan hidup.
Jika
budaya kerja atau etos kerja tinggi telah diterapkan sejak dulu,ini berarti
etos kerja tinggi telah menjadi suatu budaya bagi masyarakat Indonesia, dan
jika kita mengingat sifat dari suatu budaya yakni akan terus diturunkan dan
dilestarikan oleh masyarakat pemiliknya, tentu jikalau etos kerja tinggi telah
dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia sejak dulu maka seharusnya etos
kerja tinggi telah mendarah daging dalam setiap jiwa masyarakat Indonesia.
Namun
jika kita lihat kenyaataan dilapangan saat ini banyak masyarakat Indonesia yang
justru malah menjadi pengangguran dan cenderung menggantungkan hidupnya pada
orang lain. Menurut data Human Development
Indeks (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis) jumlah pengangguran
di Indonesia cukup besar yaitu 8,4% dari total angkatan kerja di Indonesia, hal
ini menunjukan banyak SDM yang menganggur atau tidak memiliki pekerjaan di
Indonesia. Dengan jumlah pengangguran yang tinggi, tentu akan mempengaruhi
pendapatan nasional Indonesia. Dimana pendapatan masyarakat Indonesia relatif
rendah sedangkan biaya konsumsi atau biaya hidup yang melambung jauh dari
pendapatan sehingga tidak terciptanya keseimbangan ekonomi masyarakat, hal ini
berujung pada peningkatan jumlah kemiskinan penduduk. Peningkatan jumlah
kemiskinan penduduk ini disebabkan karena masyarakat terjebak dalam lingkaran
kemiskinan, yakni pendapatan rendah, modal rendah, produktifitas rendah dan
akhirnya terjebak dalam kemiskinan. Fenomena tersebut sedikit banyak telah
menunjukkan masyarakat Indonesia yang kurang produktif sehingga berdampak pada
pandangan masyarakat dunia bahwa Indonesia memiliki etos kerja rendah.
Melihat
kenyataan tersebut tentu hal ini sangat bertentangan dengan etos kerja tinggi
yang telah dibina sejak dulu, dan kini timbulah pertanyaan jika memang budaya
kerja atau etos kerja tinggi telah ditumbuhkan sejak dulu mengapa kini justru
masyarakat Indonesia dipandang memiliki etos kerja rendah sehingga menempatkan
negara ini pada posisi 108 berdasarkan penilaian HDI dari segi kualitas SDM
Indonesia, apakah budaya kerja yang sejak dulu diterapkan kini telah pudar
sehingga menjadikan warga negara Indonesia yang malas dan berkualitas rendah?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, alangkah
baiknya kita menelaah pendapat Jansen Hulman Sinamo (http://www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/j/jansen-sinamo/berita/05-06/index.shtml)
mengenai potensi yang dimiliki negara Indonesia, Jansen mengatakan bahwa Indonesia
adalah negara yang dikarunia SDA yang melimpah ruah dengan jumlah penduduk yang
besar, ini menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia adalah sebuah negara yang
kaya dan bangsa yang besar, ini merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat
yang makmur dan sejahtera.
Terlepas dari hal tersebut, kini kita
telaah pendapat Mochtar Lubis (http://www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/j/jansen-sinamo/berita) dalam bukunya Manusia Indonesia (1977), etos kerja orang
Indonesia yakni: munafik atau hipokrit, enggan bertanggung jawab, berjiwa
feodal, percaya takhayul, berwatak lemah dan artistik atau dekat dengan alam.
Dari kesemua etos kerja Indonesia yang dikemukakan Mochtar Lubis hanya satu
sifat yang positif yakni artistik atau dekat dengan alam. Sungguh miris rasanya
jika kita mengingat etos kerja orang Indonesia yang disampaikan oleh Mochtar
Lubis, apakah kesemua pendapat itu sesuai dengan keadaan etos kerja masyarakat
Indonesia saat ini?
Jika kita melihat kenyataan dilapangan rasanya
memang benar apa yang dikatakan oleh Mochtar Lubis, dan mau tidak mau kita pun
harus mengakui bahwa etos kerja bangsa Indonesia memang cenderung rendah. Rendahnya
etos kerja masyarakat Indonesia bukan tanpa alasan, alasan mendasar yang
melatar belakangi rendahnya etos kerja masyarakat Indonesia adalah kurangnya
kualitas SDM Indonesia sendiri kemudian didukung dengan kurangnya perhatian
pemerintah terhadap masalah ini, adapun pemerintah sendiri telah mengeluarkan
berbagai kebijakan-kebijakan dengan dalih untuk mensejahterakan rakyat namun
dalam kenyataannya kebijakan-kebijakan tersebut malah semakin memperburuk
keadaan rakyat, hal ini terjadi karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah cenderung menguntungkan pemerintah sendiri bukan untuk
mensejahterakan rakyat. Sehingga tak heran bila kini citra pemerintah semakin
terlihat bobrok dimata rakyat, banyaknya kasus korupsi, suap menyuap, calo
proyek dan masih banyak lagi kasus yang membuat citra pemerintah semakin
terkikis yang berujung pada kekecewaan rakyar dan tidak mempercayai pemerintah.
Berkaitan dengan hal tersebut, Jansen Hulaman Sinamo berpendapat bahwa
rendahnya etos kerja Indonesia deperparah dengan negatifnya keteladanan yang
ditunjukkan oleh para pemimpin. Mereka merupakan model bagi masyarakat yang
bukan hanya memiliki kekuasaan formal, namun juga kekuasaan nonformal yang
justru sering disalah gunakan.
Secara
global memang rendahnya etos kerja ini terjadi pada sebagian besar masyarakat
Indonesia tak terkecuali masyarakat Suku Jawa yang dikenal memiliki etos kerja
yang tinggi. Memang secara historis etos kerja tinggi telah di terapkan sejak
dahulu oleh nenek moyang bangsa Indonesia, namun seiring berkembangnya zaman,
masalah sosial dan karena pengaruh globalisasi maka etos kerja yang sejak dulu
di bina lambat laun mulau pudar karena pengaruh-pengaruh tersebut. Selain
karena masalah sosial yang dihadapi, perkembangan tekhnologi pun ikut berperan
penting karena dengan semakin canggihnya tekhnologi yang memberikan segala
kemudahan hidup, ini mendorong berkembangnya budaya praktis pada masyarakat
yang pada akhirnya berpengaruh pada etos kerja masyarakat yang tidak ingin
berusaka keras dan selalu menginginkan semua yang instan, maka tak heran bila berkembang
pandangan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang malas maka etos
kerjanya pun dinilai rendah. Tentu rendahnya etos kerja masyarakat Indoneisa
menjadi masalah besar bagi bangsa ini, karena jika etos kerja rendah terus
dipertahankan dan tidak ada purubahan maka dapat dipastikan kehancuran dan
ketertinggalan Indonesia dari negara-negara lain. Mengingat hal tersebut tentu
permasalahan ini harus segera diselesaikan, minimal mendapat solusi pemecahan.
Sebenarnya banyak solusi pemecahan secara
global seperti pembenahan peningkatan perhatian dari pemerintah dengan
memberlakukan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat dan lain-lain, namun jika
kita melihat dari sudut pandang budaya Suku Jawa, kiranya kita dapat mengambil
etos kerja masyarakat Jawa yang ulet dalam bekerja, meskipun memang pada saat
ini masyarakat Jawa pun dipandang malas oleh segelintir orang namun setidaknya nilai
budaya ulet masih tertanam pada jiwa masyarakat Jawa. Kita dapat mengambil
contoh seorang pria dari Gunung Kidul yang berhasil mendapat anugerah
penghargaan Kalpataru dari pemerintah karena dengan keuletannya dia dapat
mengubah sebuah desa yang sebelumnya kering tanpa air kini menjadi desa yang
mudah mendapatkan air dan karena itu desa tersebut dapat mengembangkan
wilayahnya khususnya dari sektor pertanian, selain itu kita pun dapat mengambil
contoh keuletan orang-orang Jawa yakni Joko Widodo karena keuletannya dalam
belajar ia pun akhirnya mampu merakit mobil Esemka.
Dengan
ini dapat kita simpulkan jikalau benar budaya kerja yang telah diterapkan sejak
dulu sudah mulai terkikis oleh perkembangan zaman, namun setidaknya dalam diri
masyarakat Jawa masih tersimpan nilai-nilai keuletan yang bila mana
dikembangkan tentu akan memberikan kontribusi yang baik bagi Indonesia. Sifat
ulet inilah yang seharusnya dimikili oleh bangsa Indonesia, dengan kata lain
bangsa Indonesia dapat belajar dari etos kerja masyarakat Jawa yang ulet.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Setelah
penulis mengadakan analisis dari berbagai sumber mengenai etos kerja masyarakat
Indonesia yang dipandang dari etos kerja suku Jawa, maka penulis akan mencoba
menyimpulkan pembahasan pada bab sebelumnya.
Pada
zaman yang semakin modern ini Indonesia dinilai memiliki etos kerja rendah
sehingga dalam dunia internasional khususnya sektor ekonomi Indonesia dinilai
jauh tertinggal dari negara lain, bahkan jika dibandingkan dengan negara tengga
seperti Malaysia dan Singapura pun Indonesia berada di bawah kedua negara
tersebut dalam sektor ekonomi.
Banyak
ahli yang berpendapat bahwa ketertinggalan Indonesia dari negara lain salah
satu faktor pentingnya disebabkan oleh Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang
berkualitas rendah yang akhirnya etos kerjanya pun rendah. Karena etos kerja
yang rendah dan kualitas SDM yang rendah, menyebabkan masyarakat Indonesia yang
kurang produktif sehingga menyebabkan Indonesia kurang daya saing dengan negara
lain.
Namun
secara historis Indonesia adalah negara yang menjunjung etos kerja tinggi salah
satunya tercermin dalam etos kerja suku Jawa yang dikenal ulet dalam bekerja.
Meskipun budaya kerja atau etos kerja tinggi telah diterapkan sejak dahulu,
namun seiring berjalannya waktu etos kerja tinggi yang telah tertanang sejak
dulu dalam jiwa masyarakat Indonesia, sedikit demi sedikit mulai terkikis oleh
berbagai pengaruh seperti globalisasi, masalah sosial seperti masalah dalam
pemerintah kurang terorganisir dan cenderung memanfaatkan rakyat demi
kepentingan sendiri, kemajuan teknologi yang mengajarkan masyarakat untuk hidup
serba instan dan serba mudah yang akhirnya malah mengembangkan budaya malas dalam
jiwa masyarakat Indonesia maka kiranya tak salah jika kita mengatakan bahwa
kini etos kerja tinggi telah berganti menjadi budaya malas. Namun dari sekian
banyak warga negara Indonesia tentu tidak semua memiliki etos kerja rendah
adapula yang masih memiliki etos kerja tinggi.
Meskipun
secara global memang kini etos kerja tinggi telah mulai terkikis dalam jiwa
masyarakat Indonesia tak terkecuali masyarakat suku Jawa yang dikenal ulet
dalam bekerja. Namun yang perlu diingat dalam suku Jawa, setidaknya budaya ulet
dalam bekerja masih ada dalam jiwa masyarakat suku Jawa, namun sayangnya hanya
segelintir orang yang dapat mengembangkannya. Sehingga ada pandangan bahwa
masyarakat suku Jawa adalah pemalas. Namun jika keuletan masyarakat suku Jawa
itu dapat dikembangkan dengan baik maka tentu dapat memberikan kontribusi yang
besar bagi bangsa Indonesia. Alangkah baiknya jiwa masyarakat Indonesia meniru
keuletan tersebut yang dibarengi dengan mau berusaha untuk mencapai kesuksesan.
Namun
kekurangan dari masyarakat Jawa yakni ketika mereka sukses di perantauan,
mereka cenderung enggan untuk kembali ke kampung halamannya dan ingin menetap
di daerah perantauannnya. Sebenarnya mungkin sekilas kita akan berpendapat
wajar saja jika mereka lebih senang menetap diperantauan dan enggan pulang ke
kampung halamannya, namun jika kita pikirkan lebih jauh mereka yang pergi dan
enggan kembali tidak membangun daerah asalnya untuk lebih maju sehingga daerah
tersebut jalan ditempat tidak ada kemajuan karena masyarakatnya pergi dan engga
kembali. Meskipun begitu tentu dari sekian banyak masyarakat Jawa masih banyak
orang yang berniat pulang kembali untuk membangun daerahnya agar
berkembang lebih maju dari sebelumnya.
B.
Saran
Melihat
kondisi permasalahan seperti yang telah penulis uraikan pada permasalahan
sebelumnya, maka perkenankanlah penulis untuk menyampaikan beberapa saran,
yakni:
1)
Hendaknya pemerintah lebih bersifat
kerakyatan, agar lebih jelas sebelumnya mari kita golongkan pemerintahan di
Indonesia ke dalam tipe-tipe pemerintahan, jika kita melihat kenyataan di
lapangan maka pemerintahan di Indonesia saat ini dapat di golongkan ke dalam
tipe pemerintahan Paternalistik. Salah satu ciri dari pemerintahan tipe ini adalah
pemimpin atau orang yang berkuasa sering menonjolkan sikap paling mengetahui
dan cenderung menggurui (Siagian, 2009: 78). Saat ini banyak pemimpin Indonesia
yang lebih mementingkan dirinya sendiri dari pada kesejahteraan rakyatnya. Maka
dalam mengambil suatu keputusan atau kebijakan mereka bersikap seolah paling
mengetahui padahal kenyataanya kebijakan yang mereka buat malah menyengsarakan
rakyat.
Jika memang benar saat
ini pemerintah di Indonesia bersifat Paternalistik, maka hendaklah dilakukan
perubahan gaya kepemimpinan yang lebih merakyat salah satunya tipe Demokratik,
dimana salah satu ciri dari pemerintahan tipe ini yakni pemimpin atau
pemerintah mau melimpahkan wewenang pengambilan keputusan kepada bawahannya
tanpa kehilangan kendali organisasional dan tetap bertanggung jawab atas
tindakan tersebut (Siagian, 2009: 80), sehingga pengambilan keputusan atau
kebijakan pun dapat lebih merakyat karena diambil atas keputusan bersama dimana
sebelumnya melihat kondisi rakyat dan menyesuaikan dengan apa yang dibutuhkan
oleh rakyatnya.
2)
Hendaknya pemerintah berupaya untuk
mendukung kreatifitas rakyat guna meningkatkan produktifitas masyarakat, hal
ini dapat dilakukan dengan mengadakan suatu program untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat seperti pelatihan kerja dan keterampilan. Jika program ini
telah berhasil, maka etos kerja pun dapat mulai diperbaiki. Selain itu program
pemerintah yang paling harus dilakukan yakni membentuk lapangan kerja yang
luas.
3)
Melakukan peningkatan standar mutu atau
kualitas kerja rakyat Indonesia dengan tidak melupakan kesejahteraan pekerja
dengan memberikan sejumlah jaminan kerja, seperti jaminan kesehatan dan jaminan
keselamatan.
4)
Selain dukungan dari pemerintah
Indonesia sendiri, tentu harus ada semangat kerja yang tinggi dari masyarakat
Indonesia, salah satunya dapat pula meniru etos kerja masyarakat suku Jawa yang
ulet dalam bekerja.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara,
S. (2010). Etika Hidup Orang Jawa.
Yogyakarta: Narasi
Wahyuningsih,
BA., Gurning, E.T., dan Wuryantoro, E. (1997). Budaya Kerja Nelayan Indonesia di Jawa Tengah. Jakarta: CV. Bupara
Nugraha
Soewarsono,
BA. dkk. (1996). Persepsi Tentang Etos
Kerja Kaitannya dengan Nilai Budaya Masyarakat. Jakarta: CV. Bupara Nugraha
Rusman.
dkk. (1992). Dampak Sosial Budaya Akibat
Menyempitnya Lahan Pertanian Daerah Jawa Tengah. Jakarta: CV. Bupara
Nugraha
Supriatna,
N. (2009). Perkembangan Masyarakat
Indonesia. Katalog Dalam Terbitan
Siagian,
S.P. (2009). Kiat Meningkatkan
Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta
Mahesa,
B. (2011). Kualitas SDM Indonesia di
Dunia, [Online]. Tersedia: http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/03/14/kualitas-sdm-indonesia-di-dunia/ . [20 Maret 2012]
Sinamo, J.H. (2012). Etos Kerja Indonesia, [Online].
Tersedia: http://www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/j/jansen-sinamo/berita/05-06/index.shtml. [17 Maret 2012]
As’ariah.
(2011). Etos Kerja Moral Pembangunan
Dalam Islam, [Online]. Tersedia: http://fadlyknight.wordpress.com/2011/10/06/etos-kerja-moral-pembangunan-dalam-islam/
. [15 Maret 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar